Kamis, 23 Januari 2014

Chiune Sugihara





 Suatu hari saya pernah menonton satu film dokumenter yang dibuat oleh  berjudul "Visas  and Virtue " ini film dokumenter yang cukup tua terbitan tahun 1997 yang mendapatkan penghargaan untuk Best Live Action Short 1997 award pada Penghargaan Oscar 1998. film dokumenter ini baru saya nonton di penghujung akhir tahun 2012. Walau terlihat tua filmnya tapi tetap menggugah sehingga saya ingin memperkenalkan tokoh ini kepada para pembaca.

Chiune Sugihara atau juga dikenal sebagai Sempo Sugiwara (Nama samaran Sempo Sugiwara juga dipakainya pada tahun 1932 untuk mencegah kemungkinan pemerintah Soviet mengidentifikasikan dirinya sebagai diplomat Jepang. Pihak Soviet berhasil dikelabui dan Jepang mendapatkan tawaran yang sangat baik ketika membeli Jalur Kereta Api Manchuria Utara). Tokoh ini walau tidak banyak dikenal bahkan saya baru tahu setelah menonton film dokumenter tersebut, lahir di Yaotsu, Prefektur Gifu, 1 Januari 1900 – meninggal di Fujisawa, Prefektur Kanagawa, 31 Juli 1986 pada umur 86 tahun) yang merupakan diplomat Jepang yang telah menyelamatkan ribuan orang Yahudi dari Holocaust pada masa perang dunia II ketika menjabat konsul Kekaisaran Jepang di Luthuania.

Menurut Dr. Ewa Palasz-Rutkowska[1], Sugihara tentu akan bekerja sama dengan intelijen Polandia, sebagai bagian dari kerja sama Jepang-Polandia yang lebih besar.
Setelah Pakta Molotov-Ribbentrop diikuti Invasi Polandia oleh Jerman pada 1 September 1939, dan pengambilalihan Lituania oleh Uni Soviet pada tahun 1940, banyak pengungsi Yahudi dari Polandia dan Lituania yang berusaha mendapatkan visa keluar. Tanpa visa itu, perjalanan akan berbahaya dan mereka tidak mungkin menemukan negara yang bersedia mengeluarkannya. Ratusan pengungsi datang ke konsulat Jepang di Kaunas, berusaha mendapatkan visa ke Jepang. Konsul Belanda Jan Zwartendijk telah memberikan kepada mereka izin perjalanan resmi ke negara tujuan ketiga yakni CuraƧao, sebuah pulau Karibia dan koloni Belanda yang tidak membutuhkan visa masuk, atau ke Guyana Belanda (setelah kemerdekaan, Guyana Belanda berganti nama menjadi Suriname). Pada saat itu, pemerintah Jepang menganut kebijakan resmi netral terhadap orang-orang Yahudi, namun menuntut bahwa visa hanya dikeluarkan bagi mereka yang telah melalui prosedur-prosedur imigrasi yang semestinya dan mempunyai cukup dana. Kebanyakan para pengungsi itu tidak memenuhi kriteria-kriteria ini. Sugihara dengan taat menghubungi Kementerian Luar Negeri Jepang hingga tiga kali untuk meminta petunjuk. Setiap kali, Kementerian menjawab bahwa siapapun yang memperoleh visa Jepang harus memiliki visa ke negara tujuan ketiga untuk keluar dari Jepang, tanpa kecuali.

Dari tanggal 31 Juli hingga 28 Agustus 1940, Sugihara mulai mengeluarkan visa atas inisiatifnya pribadi, setelah berkonsultasi dengan istrinya. Berulang kali ia mengabaikan persyaratan-persyaratan memperoleh visa Jepang. Walaupun jelas-jelas melanggar perintah yang diberikan atasannya, Sugihara mengeluarkan visa transit 10 hari melalui Jepang untuk orang-orang Yahudi. Dengan jabatannya dan budaya dalam Kementerian Luar Negeri Jepang, tindakan Sugihara mengeluarkan visa atas inisiatif pribadi adalah tindakan luar biasa dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Ia membujuk para pejabat Soviet yang setuju untuk mengizinkan orang-orang Yahudi bepergian melalui negara itu via Jalur kereta api Trans-Siberia dengan membayar lima kali harga tiket biasa.

Sugihara terus menulisi visa dengan tangannya sendiri (konon hingga 18-20 jam per hari, hingga jumlah visa yang diterbitkan setiap hari sama dengan jumlah rata-rata visa yang dikeluarkan dalam sebulan) hingga 4 September 1940, ketika ia harus meninggalkan posnya sebelum konsulat Jepang ditutup. Pada saat itu ia telah mengeluarkan ribuan visa kepada orang-orang Yahudi, banyak di antaranya adalah kepala keluarga yang dapat membawa serta keluarga-keluarga mereka. Menurut para saksi, ia masih mengeluarkan visa sementara ia transit di hotel dan setelah menumpang kereta api, melemparkan visa-visa itu kepada kumpulan pengungsi yang putus asa menantikan di luar jendela kereta bahkan sementara kereta mulai berangkat.

Dalam International Holocaust Remembrance Day, Minggu, sebuah komunitas Yahudi mengenang Sugihara, mengingatnya sebagai orang yang sebelumnya terlupakan. "Tanpa dia, kita tidak akan ada hari ini. Jasanya menghasilkan dokter, bankir, pengacara, penulis, politikus, bahkan tokoh Yahudi Ortodoks Rhodes Scholar," kata Richard Salomon, anggota dewan dari Illinois Holocaust Museum and Education Center. Museum menyimpan peninggalan Sugihara sebagai bagian dari koleksi permanen, dan akan menghormatinya bersama orang lain yang menyelamatkan orang Yahudi selama Holocaust.

Pada tahun 1968, seorang Yahudi yang selamat yang menjadi seorang diplomat Israel, Yosua Nishri, menghubunginya. Pada tahun 1985, setahun sebelum kematiannya di Tokyo, Israel menyebut Sugihara sebagai "pahlawan" yang menyelamatkan orang Yahudi selama Holocaust.

"Ada begitu banyak orang yang hidup hari ini karena upayanya yang tanpa pamrih. Itu bukan masalah duduk dan berkata, 'mari, saya akan menuliskannya untuk Anda'," kata Anne Akabori, seorang penulis yang menerjemahkan Visa for Life, memoar Yukiko Sugihara, dan menulis The Gift of Life, buku tentang kehidupan Chiune Sugihara.

"Dan itu begitu penting bagi orang Jepang untuk mengetahui ada seseorang yang melakukan apa pun yang dia bisa untuk mengurangi keterlibatan Jepang dalam perang. Hidupnya untuk perdamaian," kata Akabori, yang berteman dengan anak Sugihara dan memimpin yayasan Visas for Life Foundation. Misi organisasi ini untuk melestarikan warisan Chiune Sugihara dan menghubungkan mereka yang diselamatkan Sugihara dan keturunan mereka.

Kelompok ini telah mendokumentasikan 2.139 visa yang dikeluarkan Sugihara. Simon Wiesenthal Center memperkirakan bahwa 40 ribu orang yang hidup hari ini adalah karena jasa Sugihara.

sumber : WikipediaTempo.co

1 komentar: